PENYEBAB BENCANA DAN WABAH DARI PANDANGAN BATIN

Hoong Wilaheng Jati Nuhoni Hajat – hajate Leluhur Nusantara,

Tabe – Tabe Uluk Salam Mulya,


Bencana wabah berdasarkan kejawen
Terkutuk dan hancurnya suatu bangsa itu, suatu kaum itu, apabila sudah bermegah – megahan. Ini tidak bisa terbantah oleh siapa pun. Artinya dengan pandangan saya dari Kaum Hadi itu jelas dari segi keimanan. Tidak bisa kejadian wabah dan bencana ini diatasi dari segi logis saja, dari segi medis saja, atau dari segi biologis saja, karena ilmunya manusia itu sangat terbatas. Manusia harus berani mengatakan: “Kantakanlah bahwasanya dirimu tidak mungkin akan mampu mengatasi hidupmu”. Kita semestinya bisa mengambil hikmah dari semua kejadian ini.

Hikmah yang termaksud, kita semestinya tau sebab – musababnya, akibatnya, dan kemudiian solusinya. Ketika suatu bangsa melalaikan kepada dirinya, melalaikan amanatnya dari tujuan awalnya.

Anda juga bisa menonton Youtube tentang penjelasan ini : Kutukan Bagi Suatu Bangsa

Tujuan awal manusia itu kan memenuhi kebutuhan hidup. Kalau istilah saya, hidup itu terbagi menjadi tiga. Dimana hidup itu secara privasi ini adalah raga, raga ketempatan sukma. Sebenarnya tidak neko-neko hidup ini. Yang kedua kemudian penghidupan. Penghidupan itu adalah sandang, papan, pangan. Yang ketiganya kemudian adalah kehidupan. Kehidupan ini mencakup interaksi sosial (silaturahmi, sosialisasi, dll). Kemudian, pada dasarnya kebutuhan manusia dibagi menjadi 3 :

1. Keperluan (Sandang, Papan, Pangan)
2. Kepentingan (Ketika ada orang tenggelam, penting untuk ditolong)
3. Keinginan (ingin punya mobil mewah, HP tercanggih, penampilan modis, dll)

Sekarang kebutuhan hidup didominasi justru oleh keinginan, bukan keperluan dan kepentingan. Sehingga, manusia berjalan tanpa konsepsi. Amanat manusia sudah terlalaikan, adapun pembelajaran dalam sebuah agama, dalam sebuah doktrinasi yang sifatnya kerokhanian, yang semestinya membuahkan hasil yang bagus, tapi akhirnya juga dikomersilkan, karena mengejar sebuah keinginan. Target sebuah keinginan ini bermegah – megahan (moh kasoran – Bhs Jawa), tidak mau lebih rendah dari yang lain, maunya lebih tinggi dan lebih tinggi. Tidak memikirkan kualitas tapi justru yang dikejar sebuah kuantitas. Akibatnya, lalai kepada banyak hal yang lebih penting dalam hidup asalkan diri kita senang.

Dalam hal ini, jika menginginkan kesenangan diri, biasanya terfokus pada bagaimana cara kita mendapat untuk yang lebih memuaskan, yang lebih mewah, yang lebih megah. Bahkan yang penting hanya casing. Kalau sudah tertipu oleh casing ya bahaya sekali. Sekarang kita lihat saja, untuk bisa bermegahan kan jelas perlu nominal finansial. Karena targetnya itu keuangan (harus punya uang), akhirnya liberlisme dan kapitalisme itu terjadi, baik terang-terangan maupun tidak. Dan pada akhirnya kini terang-terangan.

Sekarang, dalam mencari uang sudah liberal, kapitalisasi, dan bahkan banyak yang menghalalkan segala cara. Sampai dengan pedagang kecil sekelas bakul lotek saja dikeruk keuntungannya semata, dengan cara eksploitasi uang semata. Akhirnya peredaran uang dipaksakan, peredaran uang yang tidak secara nurani. Penjual lotek, penjual cilok, penjual yang kecil – kecil saja sudah dihutangi uang katakanlah seratus ribu rupiah, menerimanya 90 ribu rupiah, harus melunasi 120 ribu rupiah, apa itu!?


Baik secara hukum agama maupun hukum negara, kalau memang sudah tertata, ya tidaklah demikian. Liberaliesme seperti ini sudah merata sekarang. Sehingga manusia sudah betul-betul mendapat kutukan. Karena sudah tidak mengindahkan nuraninya. Akhirnya, hancurlah. Terkutuk dan hancurnya suatu bangsa manakala sudah bermegah-megahan. Yang perlu kita ingat, target dari hidup kita ini bukan megah. Target dari hidup mestinya itu sederhana, kesederhanaan, toleransi. Tidak ada instruksi dari Tuhan untuk bermegah-megahan. Bahkan Tuhan melarangnya, seperti yang tercantum dalam Qur’an Surat At-Takatsur. Kalau sudah bermegah-megahan seperti sekarang ini, berarti manusia sudah lalai, banyak orang yang membaca kitab tapi melanggar kitab itu sendiri.


Kunci dan solusinya ini, sebenarnya dari jaman ke jaman, hanya ada pada kaum brahmana dan kaum ksatria, kalau istilah yang dikenal banyak orang sekarang ya ulama dan umaro. Kalau boleh kita jujur, sepertinya sekarang sudah tidak ada ulama. Adanya orang yang mengaku sebagai ulama. Sejatinya ulama itu harus bertujuan dan terbukti betul-betul bisa mengayomi masyarakat, menatanya, baik dari segi kerokhanian, agar bermentalitas dan bermoralitas yang bagus, dari ucapannya bagus, tindakannya bagus, dan tujuan bagusnya pun terbukti menyejukkan sesama.


Dalam situasi corona ini, saya belum pernah mendengar baik dari ‘ulama’ maupun umaro, baik yang di Vatikan maupun yang di Saudi Arabia: “mari kita bersama-sama berintrospeksi diri apa dosa kita”. Tidak ada yang mengatakan demikian, karena dia sudah merasa benar. Benar dalam keinginannya mengejar sebuah target kesuksesan manusia yang semata-mata dilihat dari kemegahannya. Konyol banget ini. Kalau boleh saya ngomong kasarnya, sudah amoral, tindakan yang tidak bermoral.


Pembangunan rohani sudah dikomersialisasi, mentalitas yang bagus sudah tidak ada. Ya kalau kita punya Presiden semestinya Pak Jokowi mengatakan semacam ini: “Marilah rakyatku kita semua introspeksi kekeliruan kita di mana, bagaimana solusinya dan kita harus bagaimana dalam mencari solusi”. Wajar kalau tidak mengatakan demikian. Karena sudah tidak mengenal kesejatian.


Kesejatian itu apa? Jadi seolah-olah manusia itu berbuat baik, tapi di dalam kebaikan itu bermotif, artinya solusi daripada ini semua adalah pada Kaum Brahmana dan Kaum Ksatria, yang ketulusannya tidak palsu. Karena ketulusan itu sesungguhnya juga tidak bisa dipalsukan. Ketulusan kesederhanaan misalnya. Ya mau nggak mau kita harus mengerti bahwasanya kesederhanaan yang dipalsukan akhirnya terungkap juga sekarang perlahan-lahan. Bukan oleh wartawan yang mendeteksi, tapi keadaanlah yang mengungkapnya.


Di sisi lain, sekarang ulama banyak yang suqiyah, ulama pasaran. Sekarang ulama kok dibentuk oleh ketenaran panggung. Lha trus mau jadi apa negeri ini? Mengajinya orang sekarang pun mengaji kepada orang yang mencari duit, bukan mencari ridho Illahi. Misalnya banyak yang berbondong-bondong dari Cilacap ke Jakarta, katanya mengaji tapi rata-rata ingin melihat yang di-idolakan dan masuk ke layar tv. Yang diidolakan itu menangnya dari hasil pol;ing, ya ulama tv, ulama sms namanya, ulama suqiyah, bukan ulama sufiyah.


Dalam hal pandemi dan bencana ini, carilah ‘ulama’ yang tulus, brahmana yang tulus, untuk bisa memberikan solusi baik secara lahir maupun batin. Kalau sudah terjadi wabah seperti ini, semestinya kita mencari solusi batin, karena sudah tidak mungkin cukup diatasi logika saja. Dan niscaya pasti ada. Seburuk-buruk orang di bumi ini adalah yang sudah terkutuk. Tapi jelas masih ada 1 atau 2 orang yang tidak terkutuk. Carilah brahmana sejati di negeri ini, bukan sebatas ulama yang selama ini mencari popularitas semata, kemegahan, atau pun kesuksesan profil saja.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAKEKAT SATRIO PININGIT

LOCKDOWN MENURUT PANDANGAN SPIRITUAL KAUM HADI